Bab 1
Analisis Peringkat Daya Saing dan Studi Simulasi untuk 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2014
1. PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Buku ini, yang diperbaharui untuk tahun 2014, merupakan edisi tahunan kedua dari Asia Competitiveness Institute (ACI)1 yang menganalisis daya saing provinsi-provinsi di Indonesia.2 Analisis tersebut menyoroti strategi pembangunan Indonesia yang relevan dalam menyusul pertumbuhan negara-negara berkembang lainnya dalam upaya menempati posisi yang kompetitif di Asia Tenggara.
Dengan memasukkan saran dari partner kami dan para pemangku kepentingan lainnya,3 buku ini membahas mengenai peringkat daya saing provinsi dan analisis daya saing serta strategi pembangunan di enam wilayah. Menurut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011–2025 (MP3EI), konsep kewilayahan ini didefinisikan sebagai enam koridor ekonomi. Perubahan baru ini menggantikan 33 bab yang mengulas 33 provinsi di Indonesia4 menjadi enam bab yang mewakili enam wilayah Indonesia dengan menonjolkan pendekatan klaster untuk menempa dan menyinergikan upaya dari berbagai pihak.
Bab 1 menjelaskan analisis peringkat daya saing dan studi simulasi terbaru untuk 33 provinsi yang berdasarkan data dari tahun 2011.5 Bab 2 memberikan gambaran menyeluruh perdana dari peringkat daya saing wilayah. Bab 3 hingga 8 memberikan gambaran setiap wilayah yang lebih terperinci dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan komparatif serta strategi pembangunan.
Selain peringkat daya saing provinsi dan wilayah, publikasi tahun 2014 ini juga menampilkan satu bab de ngan pengkajian daya saing yang lebih spesifik. Di Bab 9, ACI menggunakan analisis kausalitas Geweke6 untuk menganalisa provinsi-provinsi dengan tingkat daya saing yang sangat tinggi dan sangat rendah dalam menjelaskan faktor-faktor utama terkait kinerja mereka. Kami menganalisis dua provinsi yang sangat kompetitif, Jawa Timur dan Kalimantan Timur, dan dua provinsi yang memiliki daya saing sangat rendah, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara. Dengan menggunakan analisis Geweke, kami mengidentifikasi bagaimana berbagai faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan tingkat daya saing provinsi tersebut.
Bab 10 memberikan kesimpulan yang memaparkan intisari dari tiap bab. Bab tersebut juga menjelaskan agenda penelitian ACI yang akan datang mengenai peran desentralisasi dan lembaga pemerintahan dalam pembangunan ekonomi, produktivitas pertanian dan potensi perangkap pendapatan menengah (middle-income trap).
1.2 Motivasi, Tujuan dan Kontribusi yang Diharapkan
Indonesia dengan meyakinkan berhasil menempati posisi sebagai salah satu negara “middle power” di dunia.7 Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997 dan transisi politik tahun 1998 menjatuhkan ekonomi Indonesia untuk sementara.8 Namun, Indonesia dengan cepat berhasil menstabilkan kondisi politik dan menunjukkan ketahanan ekonomi yang baik untuk bangkit kembali. Sejak tahun 2002, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per tahun selalu berada di atas 4,5%. Sejak tahun 2005, pertumbuhan PDB berada di atas 6% per tahun — kecuali di tahun 2009 saat krisis keuangan global, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi menurun ke 4,63%.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan berkontribusi kepada stabilitas regional dengan memberikan pengaruh positif bagi negara-negara tetangganya, terutama anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Studi ACI mengenai daya saing negara ASEAN-10 pada tahun 2000–2010 memperlihatkan bahwa 1% peningkatan PDB Indonesia berkorelasi dengan 0,25% peningkatan PDB di Singapura.9 Dengan hubungan ekonomi antara Indonesia dan Singapura yang lebih kuat di masa depan, baik secara bilateral maupun melalui kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), terdapat kesadaran lebih besar bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia memberikan keuntungan bersama bagi kedua negara.
Beberapa pelajaran dapat dipetik oleh Indonesia dari ide-ide yang beredar di dunia internasional. Salah satunya berasal dari Republik Rakyat Tiongkok yang berhasil menjaga tingkat pertumbuhan sekitar 10% selama beberapa dekade. Salah satu kunci kesuksesan Tiongkok adalah penciptaan sebuah sistem yang mendorong persaingan sehat antara entitas sub-nasional (provinsi, kabupaten/kota, dll), dimana insentif diberikan untuk pemimpin daerah yang memiliki kinerja baik. Bahkan, karena otonomi pemerintah daerah, sistem fiskal Tiongkok disebut sebagai “market-preserving federalism.”10
Undang-undang desentralisasi Indonesia yang disahkan pada tahun 1999 dan diperbaharui tahun 2004 mendukung sebuah sistem dimana otoritas untuk menyelesaikan masalah daerah (kecuali untuk isu luar negeri, pertahanan, hukum, keuangan, agama, sumber daya alam, dan administrasi negara) berada di tangan pemerintahan sub-nasional. Undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa fiskal akan diberikan secara berimbang agar pemerintahan sub-nasional bisa menjalankan peranannya. Undang-undang tersebut membuka peluang untuk persaingan sehat dan kerjasama antara pemerintah sub-nasional menuju pertumbuhan yang inklusif. Dengan paradigma ini, setiap provinsi, kota dan kabupaten wajib memahami kekuatan dan kelemahan masingmasing. Selain itu, mereka juga diharapkan untuk memahami dan bertindak berdasarkan kekuatan dan kelemahan provinsi di sekitarnya.
Studi ini dilakukan oleh ACI sebagai pihak netral dengan hasil faktual berbasis empiris. Tujuan dari studi ini adalah agar wilayah atau provinsi terkait lebih memahami daya saing antara sub-nasional Indonesia, mengidentifikasi strategi untuk memperbaiki situasi, mendorong pola pikir persaingan sehat dan kerjasama antara wilayah. Tinjauan antar wilayah dapat memicu pembangunan ekonomi yang lebih berkesinambungan di Indonesia dan mendorong kerjasama ASEAN. ACI akan mengadakan penelitian ini setiap tahun agar profil daya saing provinsi dan wilayah Indonesia tidak hanya terekam sekali waktu, tetapi berkelanjutan agar menjadi sebuah studi mengenai dinamika daya saing dari waktu ke waktu.
Secara spesifik, untuk pemerintah pusat, penelitian ini diharapkan bisa memberikan wawasan mengenai perbedaan tingkat pembangunan (termasuk ketimpangan) daya saing provinsi-provinsi dan wilayah-wilayah di Indonesia. Bagi para pemangku kepentingan di provinsi, baik pemerintah ataupun pengusaha, penelitian ini bisa menjadi sebuah tolok ukur untuk melihat daya saing provinsi mereka dibandingkan dengan provinsi lain dan untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Bagi penanam modal, dari dalam ataupun luar negeri, penelitian ini bisa memberikan gambaran umum potensi dan tantangan investasi di berbagai tempat di Indonesia. Bagi akademisi dan peneliti di seluruh dunia, studi ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap literatur mengenai pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi Indonesia dan menyebarkan kreativitas intelektual ke khalayak luas.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Landasan Teori Mengenai Tinjauan Daya Saing
Gagasan daya saing kewilayahan telah diselidiki dengan berbagai cara. Awalnya, pada tahun 1980-an, ‘daya saing’ berada di ranah sektor swasta, terutama berkaitan dengan kinerja perusahaan.11 Seiring waktu, pembahasannya meluas ke ranah ekonomi makro, seperti terlihat dengan berdirinya “Council on Competitiveness” atau institusi serupa di berbagai negara industrialis yang maju. Beberapa akademisi berpendapat bahwa persaingan hanya dilakukan antara perusahaan, dan bukan negara, wilayah atau tempat.12 Namun, kinerja perusahaan terse-but tergantung pada beberapa faktor yang terkait dengan lokasinya. Hal tersebut termasuk kualitas tenaga kerja dan infrastruktur, tata kelola, biaya untuk menjalankan usaha, serta kinerja dari perusahaan yang menjadi pesaing dan pelengkap di daerah tersebut.13
Dua dari studi daya saing antarnegara yang paling sering dirujuk saat ini adalah World Competitiveness Yearbook (WCY)14 dan Global Competitiveness Report (GCR).15 WCY mendefinisikan daya saing berdasarkan empat faktor: (a) kinerja ekonomi, (b) efisiensi pemerintahan, (c) efisiensi bisnis dan (d) infrastruktur. Setiap faktor terdiri dari lima kriteria, sehingga dengan total terdapat 20 kriteria. WCY menggunakan bobot yang sama sehingga setiap kriteria mempunyai bobot 5% dan setiap faktor berbobot 25% pada indeks daya saing keseluruhan.16 Mayoritas data yang dipakai adalah indikator statistik yang diambil dari organisasi internasional, regional dan nasional. Namun, banyak juga data persepsi yang diambil dari survei eksekutif yang turut mendukung data statistik tersebut.
GCR membagi Indeks Daya Saing Global menjadi tiga sub-indeks: (a) persyaratan dasar, (b) penambah efisiensi dan (c) inovasi dan faktor kemutakhiran.17 Masing-masing dari tiga sub-indeks tersebut memiliki beberapa pilar. Sub-indeks persyaratan dasar memiliki empat pilar: kelembagaan, infrastruktur, lingkup ekonomi makro, dan kesehatan serta pendidikan dasar. Sub-indeks penambah efisiensi mencakup enam pilar: pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi dan ukuran pasar. Sub-indeks inovasi dan faktor kemutakhiran terdiri dari dua pilar: kemutakhiran dalam bisnis dan inovasi. Mayoritas data yang membentuk pilar dan sub-indeks ini berasal dari survei opini para eksekutif perusahaan.
2.2 Kerangka Daya Saing ACI
Pendekatan ACI mengenai daya saing menggunakan kerangka yang komprehensif, terintegrasi dan sistemik serta meliputi faktor-faktor berbeda yang secara kolektif menentukan kemampuan suatu wilayah atau provinsi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang substansial dan inklusif dalam kurun waktu panjang.
Gambar 1.1. Kerangka Daya Saing ACI
Sumber: Asia Competitiveness Institute
Sesuai dengan pendekatan komprehensif ...